Bapak/Ibu
hadirin sekalian yang saya hormati serta para wisudawan dan wisudawati yang
saya banggakan. Puji syukur kehadirat Allah SWT atas semua berkat, rahmat dan
karunia-Nya sehingga kita masih bisa bersama-sama di tempat ini dalam keadaan
sehat walafiat. Sungguh suatu kepercayaan, penghormatan dan penghargaan yang
sangat besar bagi saya karena ibu ketua STAI Alfurqan dan Panitia kegiatan
wisuda mempercayakan kepada saya untuk menyampaikan orasi ilmiah. Oleh karena itu,
dengan penuh kerendahan hati, ijinkan saya menyampaikan orasi ilmiah ini dengan
judul Penguatan Karakter Bangsa Melalui
Revitalisasi Pendidikan di Perguruan Tinggi.
Hadirin yang saya hormati
Mengawali orasi
ilmiah ini saya akan mengutip beberapa pernyataan dari seorang professor yang
sekarang sudah menjabat gubernur Jakarta beliau pernah mengatakan dalam
pidatonya bahwa pertanyaan mengenai apa cita-cita kamu kepada peserta didik
sudah kurang tetap karena bisa saja profesi yang ia jawab ketika ditanya tidak bisa
lagi dijumpai pada tahun-tahun yang akan datang. Oleh karena itu pertanyaan
sekarang kepada peserta didik seharusnya “apa yang akan kau buat kelak” untuk
menjawab ini maka peserta didik harus memiliki 3 hal berikut: karakter, kompetensi,
dan literasi. Namun pada orasi kali ini saya akan fokuskan pada nilai-nilai
karakter. Karakter ini tidak bisa dibentuk tetapi hanya bisa ditumbuhkan dengan
cara memberikan stimulus.
Hadirin yang saya hormati
Mengapa saya
menganggap bahwa masalah karakter ini penting? Hal ini disebabkan karena
melihat fenomena dan fakta empiris dalam masyarakat kita yang banyak diberitakan di media
akhir-akhir ini. Hal tersebut merupakan gambaran realita kehidupan bangsa
Indonesia yang sampai saat ini masih mengalami krisis multidimensi. Coba kita
perhatikan betapa mudahnya masyarakat kita terprovokasi dengan berita-berita
yang belum tentu benar atau dengan istilah hoax. Apa yang terjadi? Muncullah
istilah-istilah perpecahan, muncullah istilah intoleransil. Belum lagi
berita-berita mengenai keterlibatan peserta didik dengan berbagai macam
kejahatan seperti kasus pornografi, kasus narkoba dll. Jika keadaan ini
dibiarkan berlarut-larut, kita akan sulit mengejar ketertinggalan dalam upaya
mencapai Millenium Developments Goals (MDG’s), yaitu: (1)
menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai Pendidikan Dasar
secara Universal (3) mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan ;
(4) mengurangi tingkat kematian anak; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan
penyakit lainnya; (7) menjamin pembangunan berkelanjutan dan pelestarian
lingkungan; dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (United
Nations Development Group, 2003). Untuk mencapai Tujuan ini diperlukan
dukungan masyarakat dan bangsa yang berkualitas atau SDM Indonesia yang unggul.
Fakta
dilapangan menunjukkan betapa banyak orang cerdas tetapi kurang arif,
orang kaya tetapi tidak dermawan, orang berkuasa tetapi tidak amanah,
tokoh masyarakat tetapi tidak memberi teladan, pemimpin tetapi tidak
berpihak pada kepentingan bersama (rakyat banyak), saling menjatuhkan,
pengeboman, dan tindakan-tindakan anarkis-destruktif lain yang sangat merugikan
kelanjutan kehidupan bangsa. Untuk itulah peran pendidikan sangat penting,
sebagaimana tersirat dan tersurat dalam Undang-undang Republik
Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat
2 dikatakan bahwa: Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman. Selanjutnya dalam pasal 3, dikatakan bahwa
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Hal ini dijelaskan lebih lanjut
dalam standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah umum
bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian,
akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut (PP. 19 tahun 2005). Selanjutnya, dijelaskan pula dalam standar
kompetensi lulusan pada standar nasional pendidikan Tinggi yang merupakan
kriteria minimal tenang kualifikasi kemampuan lulusan, salah satunya mencakup:
sikap yakni perilaku benar dan berbudaya sebagai hasil dari
internalisasi dan aktualisasi nilai dan norma yang tercermin dalam kehidupan
spiritual dan sosial melalui proses pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa,
penelitian dan/atau pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran. Dengan kata lain, pendidikan
nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi kecerdasan intelektual,
spiritual, sosial, dan moral peserta didik, sebagai potensi karakter
bangsa. Hal ini mengandung pesan bahwa pendidikan tinggi ikut mengambil peran
strategis dalam menumbuhkan karakter bangsa.
Hadirin yang saya hormati
Menurut Soedjadi (2009), pribadi
berkarakter adalah pribadi yang sadar akan nilai kehidupan bersama, sadar akan
kelebihan dan kekurangan diri, berkemampuan dan cerdas, berkebisaaan baik,
berfikir dan bertindak positif. Sedangkan unsur-unsur dari bangsa adalah
beragam suku bangsa yang di dalamnya mencakup keluarga, atau kelompok warga
atau individu yang kesemuanya merupakan satu kesatuan. Ini berarti karakter
suatu bangsa ditentukan oleh karakter setiap individu bangsa tersebut. Dalam
hal ini, STAI AL furqan, yang menghasilkan lulusan baik guru, atau profesi yang
lain bahkan dosen perguruan tinggi, mempunyai peluang besar membangun karakter
bangsa. Yakinlah ketika perguruan tinggi mampu mencetak lulusan yang berkarakter,
maka kita akan mampu mengubah masa depan bangsa Indonesia ke arah yang lebih
baik. Namun tentu ada syarat utama untuk mencetak lulusan yang demikian yakni,
bahwa seluruh jajaran pimpinan, para dosen STAI Al furqan, bahkan seluruh staf
harus mampu menginternalisasikan nilai-nilai karakter pada dirinya.
Sejak lama Bung Karno pada sejarah
masa lalu sangat memperhatikan dan mendukung upaya pembangunan karakter bangsa
Indonesia yang ditanamkan dan diwujudkan sebagai karakter bangsa yang
mencerminkan dorongan hati nurani setiap individu sebagai bangsa Indonesia,
dalam kesadaran multikultural yang tidak mungkin dilebur sebagai karakter
tunggal atau melting pot. Adapun
nilai-nilai karakter bangsa yang perlu ditransformasikan kepada mahasiswa
(peserta didik) sedini mungkin, antara lain:
- Keimanan
dan Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
- Jujur
yaitu memiliki sikap dan sifat yang luhur sebagai warga negara dan
merupakan suatu keniscayaan. Kejujuran merupakan kunci bagi terciptanya
keselarasan dan keharmonisan hubungan antar warga negara dengan negara,
memiliki misi dalam mengentaskan kemiskinan dan dalam meningkatkan
kesejahteraan bersama ;
- Adil
adalah menempatkan sesuatu secara proporsional. Tujuan yang baik tidak
akan diwujudkan dengan cara-cara yang tidak adil. Penggunaan cara-cara
yang tidak adil adalah bentuk pelanggaran hak asasi dari orang yang
diperlakukan tidak adil.
- Rasa
hormat dan tanggung jawab terhadap sesama warga negara terutama dalam
konteks adanya pluralitas masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai
etnis, suku, ras, keyakinan/agama, dan ideologi politik (komitmen
bersatu), turut bertanggung jawab menjaga keharmonisan hubungan antar
etnis serta keteraturan dan ketertiban negara yang berdiri di atas dasar
pluralitas tersebut (Bhineka Tunggal Ika). Namun kalau kita melihat fenomena sekarang, nilai ini sudah mulai
terdegradasi;
- Sikap
kritis terhadap kenyataan empiris (realitas sosial, budaya, dan politik)
maupun terhadap kenyataan supra empiris atau metafisik (agama, mitologi,
kepercayaan). Sikap kritis juga harus ditunjukkan pada diri sendiri.
- Sikap
kritis pada diri sendiri itu tentu disertai sikap pemahaman terhadap
pendapat yang berbeda;
- Sikap
terbuka didasarkan atas kesadaran akan pluralisme dan keterbatasan diri
yang akan melahirkan kemampuan dalam menahan diri, tidak secepatnya
menjatuhkan penilaian atau pilihan;
- Rasional
yaitu memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan secara bebas dan logis.
Ini merupakan hal yang harus dilakukan. Keputusan-keputusan yang diambil
secara rasional akan melahirkan sikap yang tegas dan pemikiran yang logis.
- Cerdas
dan arif yakni memiliki Inteligensi jamak. Inteligensi merupakan
kemampuan untuk memecahkan persoalan dan dapat menghasilkan produk dalam
suatu seting yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata. Intelegensi
seseorang bukan hanya diukur dengan tes tertulis, melainkan lebih tepat
diukur melalui cara bagaimana orang itu memecahkan persoalan dalam
kehidupan yang nyata secara cerdas dan bijak (arif). (Nadiroh, 2011)
Nilai-nilai karakter bangsa yang
dipaparkan di atas didukung oleh Michele Borba (2008) dengan menggunakan
istilah kecerdasan moral dan karakter. Tujuh kebajikan utama
dalam membangun kecerdasan moral dan karakter bangsa yang kuat: (1) empati:
memahami dan merasakan kesedihan/ penderitaan orang lain; (2) nurani: merasakan
dan menerapkan cara berprilaku yang manusiawi; (3) kontrol diri: mengendalikan
pikiran dan tindakan agar dapat menahan dorongan dari dalam atau mencegah
dorongan dari luar sehingga dapat bertindak benar; (4) rasa hormat: menghargai
orang lain dengan berlaku baik dan sopan; (5) kebaikan hati: menunjukkan
kepedulian terhadap kehidupan dan perasaan orang lain; (6) toleransi:
menghormati martabat dan menghargai hak semua orang meskipun keyakinan berbeda
antara satu dan yang lain; dan (7) keadilan: berpikir terbuka, tidak berat
sebelah, bertindak adil/ berpihak pada yang benar.
Hadirin yang saya hormati
Untuk penguatan karakter bangsa,
pendidikan tinggi harus memiliki peran yang sangat penting. Oleh karena itu,
dibutuhkan proses, cara, atau perbuatan untuk menjadikan pendidikan lebih kuat,
lebih aktif, atau lebih sehat. Inilah yang dimaksud dengan revitalisasi menurut
(Oxford, 2000). Namun berbagai macam
pengertian lain tentang revitalisasi dari banyak kalangan muncul sedemikian
rupa. Bisa dimungkinkan satu sama yang lain bertentangan. Dalam khazanah
dinamika keilmuan kontemporer, hal itu wajar terjadi, karena pada prinsipnya
tidak akan ada definisi yang definitive. Artinya batasan pengertian terhadap
suatu istilah tertentu, sulit untuk tidak mengatakan mustahil akan dapat
menggambarkan istilah itu secara utuh dan menyeluruh.
Dalam konteks ini, istilah revitalisasi saja
kadang-kadang menjadi guyonan mahasiswa di warung kopi, bahwa apabila alat
keperkasaan laki-laki tidak berfungsi, maka perlu direvitalisasi, artinya
adalah perlu (maaf) diperkasakan kembali.
Revitalisasi dalam konteks pendidikan maksudnya adalah
memaksimalkan semua unsur pendidikan yang dimiliki menjadi lebih vital atau
terberdaya lagi, sehingga sasaran dan proses pendidikan yang dilakukan bisa
dicapai dan dilangsungkan dengan maksimal pula. Banyak hal yang penting dibuat lebih berdaya pada
perguruan tinggi diantaranya SDM. SDM ini merupakan bagian yang sangat penting
dan berpengaruh dalam melahirkan lulusan-lulusan yang berkualitas dan
berkarakter
Dalam pengertian lain revitalisasi Pendidikan adalah upaya
yang lebih kuat, lebih aktif dan lebih bertangung jawab untuk mewujudkan tujuan
pembangunan pendidikan nasional sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Aspek akhlak mulia, moral dan
budi pekerti perlu dimasukkan dalam pengembangan kebijakan, program dan
indikator keberhasilan pendidikan, khususnya dalam mengembangkan potensi
peserta didik. Pendidikan nasional
harus mampu mengidentifikasi dan menjawab tantangan masa depan, serta menjamin
keberlanjutan kebijakan dan programnya.
Pertanyaan mendasar sekarang:
hal-hal apa yang paling urgen untuk lebih diperkuat, lebih diaktifkan, lebih
disehatkan dalam kaitan dengan pendidikan tinggi? Dan bagaimana cara
merevitalisasinya sedemikian sehingga proses ini akan memperkuat karakter
bangsa Indonesia yang kita cintai. Dalam upaya menjawab pertanyaan mendasar
tersebut, maka pada kesempatan ini saya akan menyampaikan dua hal pokok,
mencakup: (1) tantangan tenaga pendidik di masa kini dan masa depan, (2) reviu
singkat pendidikan pada Negara-negara berprestasi.
Hadirin
yang terhormat,
Penelitian telah menunjukkan bahwa,
pengajaran merupakan tugas yang sangat kompleks antara lain karena tenaga
pendidik dalam hal ini dosen dituntut memahami materi yang diajarkan, strategi
pengajarannya, karakter dan kemampuan mahasiswanya, dan lain-lain. Tugas
ini semakin kompleks ketika para pendidik dituntut mengajar dengan cara yang
berbeda dari apa yang telah mereka pelajari atau alami, dituntut mengikuti
perkembangan teknologi, merancang pembelajaran yang secara khusus
dimaksudkan membangun karakter, atau ketika dosen dihadapkan pada tuntutan perubahan
kurikulum, rendahnya motivasi belajar dan rendahnya kemampuan prasyarat mahasiswa.
Dosen dituntut untuk bisa membantu para peserta didik mempersiapkan
kesuksesan di masa depannya, sedangkan peserta didik bahkan dosen itu
sendiri tidak mengetahui warna masa depan itu.
Kenyataan menunjukkan, tantangan
menjadi seorang dosen semakin tidak sederhana, karena semakin banyak peserta
didik yang terbisaa hidup dalam era komunikasi dan informasi atau lebih populer
disebut era digital. Banyak dari peserta didik telah terbisaa mengutak-atik
tombol-tombol, belajar dengan cara coba-coba, komunikasi secara cepat seperti
melalui ponsel, email, web, dan sebagainya Sehingga fenomena ini bisa saja
menjadi “cikal bakal budaya plagiat”, sebagai media untuk melakukan,
ujaran-ujaran kebencian, bisa dijadikan media untuk melakukan
provokasi-provokasi kenyataan ini sedang mengancam dunia pendidikan. Dengan
dampak teknologi di era digital ini, standar kompetensi yang dibutuhkan untuk
hidup selama ini terus berubah (Johnson, 2010). Di era ini, pengetahuan dasar,
seperti kemampuan menghitung atau pun membaca, tidak lagi cukup. Jenis
kemampuan yang dibutuhkan meliputi kemampuan berpikir kritis, keterampilan
menyelesaikan masalah, kemampuan untuk mengevaluasi informasi, keterampilan
komunikasi (seperti mampu menyajikan gagasan dan berbagi pengalaman), kemahiran
dalam menggunakan teknologi, dan keterampilan kerja kelompok atau mampu berkolaborasi
dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Peserta didik perlu dibekali
dengan kemampuan belajar, sehingga mampu mempelajari hal-hal baru oleh diri
mereka sendiri, bisa mandiri dan teratur dalam proses belajar mereka.
Kesemuanya itu merupakan penjabaran dari nilai-nilai karakter.
Untuk dapat membantu peserta didik
meraih kompetensi di atas, tentu dibutuhkan tenaga pendidik yang berkompeten.
Pertanyaan kembali muncul, bagaimana STAI Al-Furqan mempersiapkan dosen-dosen
yang kompeten?
Hadirin
yang saya hormati
Mari kita merefleksi atau melihat
sejenak bagaimana pendidikan dari Negara-negara yang berprestasi. Mudah-mudahan
dengan melihat pendidikan Negara tersebut dapat menjadi motivasi sekaligus
inspirasi bagi kita semua dalam menentukan arah perjuangan STAI Al furqan yang
kita cintai ini. Disini saya mengambil contoh dari perguruan tinggi yang
mencetak sarjana keguruan. Kebetulan al furqan ini juga terdapat prodi yang
lulusannya insyALLAH akan jadi guru juga. Berikut adalah reviu tentang
pendidikan guru di negara-negara yang dikenal berprestasi (high achieving countries) yang dirangkum
dari tulisan sitti maesuri Ph.D. Di Jerman,
seorang calon guru harus mempunyai gelar dalam dua subyek, telah lulus sejumlah
ujian menulis essay dan ujian lisan. Setelah itu mereka mengikuti pelatihan
pedagogik (pedagogical training)
selama dua tahun yang sifatnya merupakan kombinasi antara pengalaman kelas (mentored classroom experience) dan
seminar. Selama dua tahun mengikuti program internship ini, supervisor dari kedua
pihak (perguruan tinggi dan sekolah mitra tempat praktek) mengobservasi dan
menilai paling sedikit 25 kali pertemuan. Di akhir periode, para calon guru
tersebut harus menyiapkan, mengajar dan mengevaluasi serangkaian pembelajaran,
menyiapkan sebuah analisis kurikulum, dan mengikuti serangkaian ujian lainnya
sebelum mereka siap untuk mengajar. Pada tahun 1989, Jepang juga melakukan reformasi besar pada pendidikan
guru yang tidak lama kemudian disusul oleh Taiwan. Di kedua negara tersebut,
setelah calon guru menyelesaikan pendidikan guru tingkat sarjana, mereka
diharuskan mengikuti program internship yang dilaksanakan secara intensif
selama satu tahun di universitas pendidikan guru. Setelah melalui ujian yang
sangat kompetitif, guru pemula ditugaskan di sekolah di mana mereka bekerja
dengan seorang guru ahli (a master teacher). Berdasarkan undang-undang di
Jepang, guru-guru pemula menerima minimal 20 hari inservice
training pada tahun pertama ditambah 2 bulan program pengembangan
profesi pada topik manajemen kelas, penggunaan komputer,
strategi-strategi pengajaran, dan metode-metode konseling.
Berdasarkan reviu di atas diketahui proses
persiapan lulusan mereka sangat cermat dan intensif. Bandingkan dengan fenomena
di Indonesia? Dapatkah kita membayangkan dampaknya ketika seseorang (baik dari
kalangan guru maupun kalangan dosen) yang belum dipandang profesional
dalam arti sebenarnya diserahkan tugas untuk menangani pembelajaran di
kelas tanpa pendampingan dari guru atau dosen senior. Bayangkan jika kita
selaku pasien, berlapang dadakah kita bila ditangani oleh seorang dokter yang
kurang berpengalaman, atau dokter yang tidak punya tanggung jawab yang
tinggi. Atau mari kita lihat dari sudut pandang yang lain, seorang dokter, bila
ingin membuat keputusan untuk membedah pasien, maka dokter atau pasien mencari
“ second opinion” apakah keputusan itu tepat. Pertanyaan bagi kita selaku
guru atau pun dosen, apakah telah terpikirkan oleh kita untuk mendapatkan ide
dari teman sejawat tentang ketepatan-ketepatan rancangan pembelajaran kita.
Jangan sampai, karena kita telah mengampu mata kuliah tertentu dalam waktu yang
cukup lama dan selalu hanya mengajar peserta didik yang belum paham, membawa
kita merasa “kita yang terhebat” atau yang paling menguasai ilmu tersebut
sehingga tidak memerlukan “second opinion”. Gambaran pendidikan di atas membuka
mata kita bahwa betapa profesionalnya dosen-dosen dalam mendidik mahasiswanya
untuk melahirkan lulusan-lulusan yang juga profesional di bidangnya
masing-masing dan tentunnya berkarakter
Hadirin yang saya hormati
Selanjutnya bagaimana cara
mentransformasikan nilai-nilai karakter bangsa. Hakikatnya mahasiswa
dilatih untuk memfungsikan secara efektif anugerah Tuhan Yang Maha Esa
yang dibawa sejak lahir melalui pembelajaran pembentukan karakter (latihan dan
pembisaan diri) untuk melakukan akselerasi keempat fungsi yang dimaksud yaitu:
(1) panca indera; (2) naluri; (3) akal: rasional, imajinasi, kreativitas; dan
(4) hati nurani..
Dalam hal pengetahuan yang dicapai,
pada tingkat tertinggi Al-Ghazali menyebutnya dengan akselerasi atau penanjakan
ilmu (Mi’raj) pada manusia yang berpengetahuan yaitu menghambakan diri
kepada-Nya. Maslow menyebutnya dengan Motive Self Transedental yang
dalam tujuan Pendidikan adalah meningkatkan Iman dan Takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, sebagai nilai karakter bangsa yang pertama dan ter-utama.
Hadirin yang saya hormati
Seluruh dosen, memiliki peran
strategis dalam menginternalisasi dan mensosialisasikan nilai-nilai karakter
bangsa, sesuai standar kualifikasi akademik dan kompetensi, yaitu: (1) menyelenggarakan
pembelajaran yang mendidik; (2) bertindak sesuai dengan norma agama, hukum,
sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia; (3) menampilkan diri sebagai pribadi
yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (4)
menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan
berwibawa; (5) menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga
menjadi guru, dan rasa percaya diri; (6) menjunjung tinggi kode etik
profesi. Hal ini diperkuat lagi dalam menerapkan kurikulum sekarang yaitu
kurikulum KKNI, yang harus memuat nilai-nilai karakter bangsa dalam setiap mata
kuliah.
Dosen diharapkan mampu
mengimplementasikan pembentukan karakter bangsa yang selaras dengan
lingkungan lokal, nasional, dan internasional. Implikasinya diharapkan akan
mewujudkan masyarakat madani Indonesia yang memiliki nilai-nilai esensial
antara lain: (1) mempunyai respek terhadap kehidupan; (2) menghormati Hak Asasi
Manusia; (3) mewujudkan kesetaraan dan keadilan; (4) saling menghormati dan
toleran; (5) saling mengayomi; dan (6) integritas. Harapan ini adalah sebuah
keniscayaan apabila kita ingin menyelamatkan bangsa dari krisis multidimensi.
Moga-moga harapan ini menjadi kenyataan. Amien.
Hadirin yang saya hormati
Satu langkah tepat agar bangsa ini
selamat dari krisis karakter kita perlu melakukan refleksi terhadap pendidikan
pembentukan karakter bangsa pada mahasiswa. Alice Miller dalam bukunya The
Drama of The Gifted Child, memaparkan bahwa: (1) semua orang
dilahirkan untuk tumbuh, berkembang, untuk hidup, mencintai dan untuk dapat
mengungkapkan kebutuhan serta perasaan-perasaan mereka, demi perlindungan diri
mereka; (2) orang memerlukan rasa hormat dan perlindungan dari orang yang lebih
dewasa yang akan menanggapi mereka dengan serius, mencintai mereka, dan secara
jujur membantu mereka untuk berorientasi kepada dunia. Apabila
kebutuhan-kebutuhan vital itu tidak terpenuhi atau bahkan mendapatkan perlakuan
sebaliknya maka integritas mereka akan rusak selamanya. Suasana lingkungan
(sosial) ini akan memperkuat dalam mengembangkan potensi internal mahasiswa.
Adapun potensi internal mahasiswa yang perlu dirangsang perkembangannya antara
lain adalah kreativitas, konsep diri (pengendalian diri, kepercayaan diri, dan harga
diri ) , bakat,minat, dan intelegensi jamak.
Hadirin yang saya hormati
Program strategis yang perlu
dilakukan (Citizenship Education), adalah saling bersinergi antar berbagai
komponen bangsa termasuk dosen untuk mempersiapkan generasi masa depan bangsa
yang berkarakter, yakni : (1) membantu pertumbuhan jati diri bangsa, baik
secara individual maupun kultural dan bersama-sama memahami kekuatan-kekuatan
yang menyatukan ataupun yang memecah belah masyarakat; (2) melibatkan mahasiswa
dalam observasi dan partisipasi baik di kampus maupun di masyarakat; (3)
menjernihkan isu-isu kritis baik lokal maupun global; (4) mengembangkan
perspektif mahasiswa berdasarkan pengalaman hidupnya yang memungkinkan untuk
melihat diri sendiri dalam konteks dunia yang luas; (5) mempersiapkan mahasiswa
untuk membuat keputusan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi; dan (6)
mengembangkan jiwa kepemimpinan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam
pembangunan bangsa (Standard Course of Study and Grade Level
Competenzies K-12 Social Studies, Nort Carolina).
Sebagai penutup saya ingin mengatakan Tugas merevitalisasi pendidikan di perguruan
tinggi adalah hal yang tidak mudah. Dibutuhkan kesungguhan, keikhlasan,
kejujuran, kerja keras, komitmen, saling bahu membahu, berniat baik. Semoga
kita sepakat, bahwa pendidikan adalah tujuan jangka panjang.
Suatu proses menanam, yang mungkin kita sendiri tidak sampai waktu untuk
memetik buahnya. Pendidikan bukanlah proses instant. Namun saya
meyakini dengan kepemimpinan perguruan tinggi yang berkarakter dan didukung
oleh semua unsur yang ada pada perguruan tinggi tersebut maka insyaAllah kita akan
dapat berhasil mensukseskan program penguatan karakter bangsa. Akhir kata saya
ucapkan banyak terima kasih atas perhatiannya mendengarkan orasi ilmiah yang
saya bawakan dan sekali lagi saya ucapkan trims kepada ketua STAI al furqan
beserta panitia pelaksana wisuda. Wabillahi….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar