WELCOME TO MY BLOG

Jumat, 05 Oktober 2018

Orasi Ilmiah "Pendidikan Karakter"

Bapak/Ibu hadirin sekalian yang saya hormati serta para wisudawan dan wisudawati yang saya banggakan. Puji syukur kehadirat Allah SWT atas semua berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga kita masih bisa bersama-sama di tempat ini dalam keadaan sehat walafiat. Sungguh suatu kepercayaan, penghormatan dan penghargaan yang sangat besar bagi saya karena ibu ketua STAI Alfurqan dan Panitia kegiatan wisuda mempercayakan kepada saya untuk menyampaikan orasi ilmiah. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati, ijinkan saya menyampaikan orasi ilmiah ini dengan judul Penguatan Karakter Bangsa Melalui Revitalisasi Pendidikan di Perguruan Tinggi.
Hadirin yang saya hormati
Mengawali orasi ilmiah ini saya akan mengutip beberapa pernyataan dari seorang professor yang sekarang sudah menjabat gubernur Jakarta beliau pernah mengatakan dalam pidatonya bahwa pertanyaan mengenai apa cita-cita kamu kepada peserta didik sudah kurang tetap karena bisa saja profesi yang ia jawab ketika ditanya tidak bisa lagi dijumpai pada tahun-tahun yang akan datang. Oleh karena itu pertanyaan sekarang kepada peserta didik seharusnya “apa yang akan kau buat kelak” untuk menjawab ini maka peserta didik harus memiliki 3 hal berikut: karakter, kompetensi, dan literasi. Namun pada orasi kali ini saya akan fokuskan pada nilai-nilai karakter. Karakter ini tidak bisa dibentuk tetapi hanya bisa ditumbuhkan dengan cara memberikan stimulus.
Hadirin yang saya hormati
Mengapa saya menganggap bahwa masalah karakter ini penting? Hal ini disebabkan karena melihat fenomena dan fakta empiris dalam masyarakat kita yang banyak diberitakan di media akhir-akhir ini. Hal tersebut merupakan gambaran realita kehidupan bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih mengalami krisis multidimensi. Coba kita perhatikan betapa mudahnya masyarakat kita terprovokasi dengan berita-berita yang belum tentu benar atau dengan istilah hoax. Apa yang terjadi? Muncullah istilah-istilah perpecahan, muncullah istilah intoleransil. Belum lagi berita-berita mengenai keterlibatan peserta didik dengan berbagai macam kejahatan seperti kasus pornografi, kasus narkoba dll. Jika keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, kita akan sulit mengejar ketertinggalan dalam upaya mencapai  Millenium Developments Goals (MDG’s), yaitu: (1) menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai Pendidikan Dasar secara Universal (3) mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan ; (4) mengurangi tingkat kematian anak; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya; (7) menjamin pembangunan  berkelanjutan dan pelestarian lingkungan; dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (United Nations Development Group, 2003). Untuk mencapai Tujuan ini diperlukan dukungan masyarakat dan bangsa yang berkualitas atau SDM Indonesia yang unggul.
            Fakta dilapangan menunjukkan betapa banyak orang cerdas tetapi  kurang arif, orang kaya tetapi tidak dermawan, orang berkuasa tetapi tidak amanah,  tokoh masyarakat tetapi tidak memberi teladan, pemimpin tetapi tidak berpihak pada kepentingan bersama (rakyat banyak), saling menjatuhkan, pengeboman, dan tindakan-tindakan anarkis-destruktif lain yang sangat merugikan kelanjutan kehidupan bangsa. Untuk itulah peran pendidikan sangat penting, sebagaimana  tersirat dan tersurat dalam  Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 2 dikatakan bahwa: Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Selanjutnya dalam pasal 3, dikatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut (PP. 19 tahun 2005). Selanjutnya, dijelaskan pula dalam standar kompetensi lulusan pada standar nasional pendidikan Tinggi yang merupakan kriteria minimal tenang kualifikasi kemampuan lulusan, salah satunya mencakup: sikap yakni perilaku benar dan berbudaya sebagai hasil dari internalisasi dan aktualisasi nilai dan norma yang tercermin dalam kehidupan spiritual dan sosial melalui proses pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa, penelitian dan/atau pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran. Dengan kata lain, pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi kecerdasan intelektual, spiritual, sosial, dan moral peserta didik, sebagai potensi  karakter bangsa. Hal ini mengandung pesan bahwa pendidikan tinggi ikut mengambil peran strategis dalam  menumbuhkan karakter bangsa.
Hadirin yang saya hormati
Menurut Soedjadi (2009), pribadi berkarakter adalah pribadi yang sadar akan nilai kehidupan bersama, sadar akan kelebihan dan kekurangan diri, berkemampuan dan cerdas, berkebisaaan baik, berfikir dan bertindak positif. Sedangkan unsur-unsur dari bangsa adalah beragam suku bangsa yang di dalamnya mencakup keluarga, atau kelompok warga atau individu yang kesemuanya merupakan satu kesatuan. Ini berarti karakter suatu bangsa ditentukan oleh karakter setiap individu bangsa tersebut. Dalam hal ini, STAI AL furqan, yang menghasilkan lulusan baik guru, atau profesi yang lain bahkan dosen perguruan tinggi, mempunyai peluang besar membangun karakter bangsa. Yakinlah ketika perguruan tinggi mampu mencetak lulusan yang berkarakter, maka kita akan mampu mengubah masa depan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Namun tentu ada syarat utama untuk mencetak lulusan yang demikian yakni, bahwa seluruh jajaran pimpinan, para dosen STAI Al furqan, bahkan seluruh staf harus mampu menginternalisasikan nilai-nilai karakter pada dirinya.
Sejak lama Bung Karno pada sejarah masa lalu sangat memperhatikan dan mendukung upaya pembangunan karakter bangsa Indonesia yang ditanamkan dan diwujudkan sebagai karakter bangsa yang mencerminkan dorongan hati nurani setiap individu sebagai bangsa Indonesia, dalam  kesadaran multikultural yang tidak mungkin dilebur sebagai karakter tunggal atau melting pot. Adapun nilai-nilai karakter bangsa yang perlu ditransformasikan kepada mahasiswa (peserta didik) sedini mungkin, antara lain:
  1. Keimanan dan Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  2. Jujur yaitu memiliki sikap dan sifat yang luhur sebagai warga negara dan merupakan suatu keniscayaan. Kejujuran merupakan kunci bagi terciptanya keselarasan dan keharmonisan hubungan antar warga negara dengan negara, memiliki misi dalam mengentaskan kemiskinan dan dalam meningkatkan kesejahteraan bersama ;
  3. Adil adalah menempatkan sesuatu secara proporsional. Tujuan yang baik tidak akan diwujudkan dengan cara-cara yang tidak adil. Penggunaan cara-cara yang tidak adil adalah bentuk pelanggaran hak asasi dari orang yang diperlakukan tidak adil.
  4. Rasa hormat dan tanggung jawab terhadap sesama warga negara terutama dalam konteks adanya pluralitas masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, suku, ras, keyakinan/agama, dan ideologi politik (komitmen bersatu), turut bertanggung jawab menjaga keharmonisan hubungan antar etnis serta keteraturan dan ketertiban negara yang berdiri di atas dasar pluralitas tersebut (Bhineka Tunggal Ika). Namun kalau kita melihat fenomena sekarang, nilai ini sudah mulai terdegradasi;
  5. Sikap kritis terhadap kenyataan empiris (realitas sosial, budaya, dan politik) maupun terhadap kenyataan supra empiris atau metafisik (agama, mitologi, kepercayaan). Sikap kritis juga harus ditunjukkan pada diri sendiri.
  6. Sikap kritis pada diri sendiri itu tentu disertai sikap pemahaman terhadap pendapat yang berbeda;
  7. Sikap terbuka didasarkan atas kesadaran akan pluralisme dan keterbatasan diri yang akan melahirkan kemampuan dalam  menahan diri, tidak secepatnya menjatuhkan penilaian atau pilihan;
  8. Rasional yaitu memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan secara bebas dan logis. Ini merupakan hal yang harus dilakukan. Keputusan-keputusan yang diambil secara rasional akan melahirkan sikap yang tegas dan pemikiran yang logis.
  9. Cerdas dan arif yakni memiliki Inteligensi jamak. Inteligensi merupakan kemampuan untuk memecahkan persoalan dan dapat menghasilkan produk dalam suatu seting yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata. Intelegensi seseorang bukan hanya diukur dengan tes tertulis, melainkan lebih tepat diukur melalui cara bagaimana orang itu memecahkan persoalan dalam kehidupan yang nyata secara cerdas dan bijak (arif). (Nadiroh, 2011)
Nilai-nilai karakter bangsa yang dipaparkan di atas didukung oleh Michele Borba (2008) dengan menggunakan istilah kecerdasan moral dan karakter. Tujuh kebajikan utama dalam membangun kecerdasan moral dan karakter bangsa yang kuat: (1) empati: memahami dan merasakan kesedihan/ penderitaan orang lain; (2) nurani: merasakan dan menerapkan cara berprilaku yang manusiawi; (3) kontrol diri: mengendalikan pikiran dan tindakan agar dapat menahan dorongan dari dalam atau mencegah dorongan dari luar sehingga dapat bertindak benar; (4) rasa hormat: menghargai orang lain dengan berlaku baik dan sopan; (5) kebaikan hati: menunjukkan kepedulian terhadap kehidupan dan perasaan orang lain; (6) toleransi: menghormati martabat dan menghargai hak semua orang meskipun keyakinan berbeda antara satu dan yang lain; dan (7) keadilan: berpikir terbuka, tidak berat sebelah, bertindak adil/ berpihak pada yang benar.
Hadirin yang saya hormati
Untuk penguatan karakter bangsa, pendidikan tinggi harus memiliki peran yang sangat penting. Oleh karena itu, dibutuhkan proses, cara, atau perbuatan untuk menjadikan pendidikan lebih kuat, lebih aktif, atau lebih sehat. Inilah yang dimaksud dengan revitalisasi menurut (Oxford, 2000). Namun berbagai macam pengertian lain tentang revitalisasi dari banyak kalangan muncul sedemikian rupa. Bisa dimungkinkan satu sama yang lain bertentangan. Dalam khazanah dinamika keilmuan kontemporer, hal itu wajar terjadi, karena pada prinsipnya tidak akan ada definisi yang definitive. Artinya batasan pengertian terhadap suatu istilah tertentu, sulit untuk tidak mengatakan mustahil akan dapat menggambarkan istilah itu secara utuh dan menyeluruh. Dalam konteks ini, istilah revitalisasi saja kadang-kadang menjadi guyonan mahasiswa di warung kopi, bahwa apabila alat keperkasaan laki-laki tidak berfungsi, maka perlu direvitalisasi, artinya adalah perlu (maaf) diperkasakan kembali.
Revitalisasi dalam konteks pendidikan maksudnya adalah memaksimalkan semua unsur pendidikan yang dimiliki menjadi lebih vital atau terberdaya lagi, sehingga sasaran dan proses pendidikan yang dilakukan bisa dicapai dan dilangsungkan dengan maksimal pula. Banyak hal yang penting dibuat lebih berdaya pada perguruan tinggi diantaranya SDM. SDM ini merupakan bagian yang sangat penting dan berpengaruh dalam melahirkan lulusan-lulusan yang berkualitas dan berkarakter
Dalam pengertian lain revitalisasi Pendidikan adalah upaya yang lebih kuat, lebih aktif dan lebih bertangung jawab untuk mewujudkan tujuan pembangunan pendidikan nasional sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Aspek akhlak mulia, moral dan budi pekerti perlu dimasukkan dalam pengembangan kebijakan, program dan indikator keberhasilan pendidikan, khususnya dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan nasional harus mampu mengidentifikasi dan menjawab tantangan masa depan, serta menjamin keberlanjutan kebijakan dan programnya.
Pertanyaan mendasar sekarang: hal-hal apa yang paling urgen untuk lebih diperkuat, lebih diaktifkan, lebih disehatkan dalam kaitan dengan pendidikan tinggi? Dan bagaimana cara merevitalisasinya sedemikian sehingga proses ini akan memperkuat karakter bangsa Indonesia yang kita cintai. Dalam upaya menjawab pertanyaan mendasar tersebut, maka pada kesempatan ini saya akan menyampaikan dua hal pokok, mencakup: (1) tantangan tenaga pendidik di masa kini dan masa depan, (2) reviu singkat pendidikan pada Negara-negara berprestasi.
Hadirin yang terhormat,
Penelitian telah menunjukkan bahwa, pengajaran merupakan tugas yang sangat kompleks antara lain karena tenaga pendidik dalam hal ini dosen dituntut memahami materi yang diajarkan, strategi  pengajarannya, karakter dan kemampuan mahasiswanya, dan lain-lain. Tugas ini semakin kompleks ketika para pendidik dituntut mengajar dengan cara yang berbeda dari apa yang telah mereka pelajari atau alami, dituntut mengikuti perkembangan teknologi, merancang  pembelajaran yang secara khusus dimaksudkan membangun karakter, atau ketika dosen dihadapkan pada tuntutan perubahan kurikulum, rendahnya motivasi belajar dan rendahnya kemampuan prasyarat mahasiswa. Dosen dituntut untuk bisa membantu para  peserta didik mempersiapkan kesuksesan di masa depannya, sedangkan peserta didik  bahkan dosen itu sendiri tidak mengetahui warna masa depan itu.
Kenyataan menunjukkan, tantangan menjadi seorang dosen semakin tidak sederhana, karena semakin banyak peserta didik yang terbisaa hidup dalam era komunikasi dan informasi atau lebih populer disebut era digital. Banyak dari peserta didik telah terbisaa mengutak-atik tombol-tombol, belajar dengan cara coba-coba, komunikasi secara cepat seperti melalui ponsel, email, web, dan sebagainya Sehingga fenomena ini bisa saja menjadi “cikal bakal budaya plagiat”, sebagai media untuk melakukan, ujaran-ujaran kebencian, bisa dijadikan media untuk melakukan provokasi-provokasi kenyataan ini sedang mengancam dunia pendidikan. Dengan dampak teknologi di era digital ini, standar kompetensi yang dibutuhkan untuk hidup selama ini terus berubah (Johnson, 2010). Di era ini, pengetahuan dasar, seperti kemampuan menghitung atau pun membaca, tidak lagi cukup. Jenis kemampuan yang dibutuhkan meliputi kemampuan berpikir kritis, keterampilan menyelesaikan masalah, kemampuan untuk mengevaluasi informasi, keterampilan komunikasi (seperti mampu menyajikan gagasan dan berbagi pengalaman), kemahiran dalam menggunakan teknologi, dan keterampilan kerja kelompok atau mampu berkolaborasi dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Peserta didik perlu dibekali dengan kemampuan belajar, sehingga mampu mempelajari hal-hal baru oleh diri mereka sendiri, bisa mandiri dan teratur dalam proses belajar mereka. Kesemuanya itu merupakan penjabaran dari nilai-nilai karakter.
Untuk dapat membantu peserta didik meraih kompetensi di atas, tentu dibutuhkan tenaga pendidik yang berkompeten. Pertanyaan kembali muncul, bagaimana STAI Al-Furqan mempersiapkan dosen-dosen yang kompeten?
Hadirin yang saya hormati
Mari kita merefleksi atau melihat sejenak bagaimana pendidikan dari Negara-negara yang berprestasi. Mudah-mudahan dengan melihat pendidikan Negara tersebut dapat menjadi motivasi sekaligus inspirasi bagi kita semua dalam menentukan arah perjuangan STAI Al furqan yang kita cintai ini. Disini saya mengambil contoh dari perguruan tinggi yang mencetak sarjana keguruan. Kebetulan al furqan ini juga terdapat prodi yang lulusannya insyALLAH akan jadi guru juga. Berikut adalah reviu tentang pendidikan guru di negara-negara yang dikenal  berprestasi (high achieving countries) yang dirangkum dari tulisan sitti maesuri Ph.D. Di Jerman, seorang calon guru harus mempunyai gelar dalam dua subyek, telah lulus sejumlah ujian menulis essay dan ujian lisan. Setelah itu mereka mengikuti pelatihan  pedagogik (pedagogical training) selama dua tahun yang sifatnya merupakan kombinasi antara pengalaman kelas (mentored classroom experience) dan seminar. Selama dua tahun mengikuti program internship ini, supervisor dari kedua pihak (perguruan tinggi dan sekolah mitra tempat praktek) mengobservasi dan menilai paling sedikit 25 kali pertemuan. Di akhir periode, para calon guru tersebut harus menyiapkan, mengajar dan mengevaluasi serangkaian pembelajaran, menyiapkan sebuah analisis kurikulum, dan mengikuti serangkaian ujian lainnya sebelum mereka siap untuk mengajar. Pada tahun 1989, Jepang juga melakukan reformasi besar pada  pendidikan guru yang tidak lama kemudian disusul oleh Taiwan. Di kedua negara tersebut, setelah calon guru menyelesaikan pendidikan guru tingkat sarjana, mereka diharuskan mengikuti program internship yang dilaksanakan secara intensif selama satu tahun di universitas pendidikan guru. Setelah melalui ujian yang sangat kompetitif, guru pemula ditugaskan di sekolah di mana mereka bekerja dengan seorang guru ahli (a master teacher). Berdasarkan undang-undang di Jepang, guru-guru pemula menerima minimal 20 hari inservice training  pada tahun pertama ditambah 2 bulan program pengembangan profesi  pada topik manajemen kelas, penggunaan komputer, strategi-strategi pengajaran, dan metode-metode konseling.
Berdasarkan reviu di atas diketahui proses persiapan lulusan mereka sangat cermat dan intensif. Bandingkan dengan fenomena di Indonesia? Dapatkah kita membayangkan dampaknya ketika seseorang (baik dari kalangan guru maupun kalangan dosen) yang  belum dipandang profesional dalam arti sebenarnya diserahkan tugas untuk menangani  pembelajaran di kelas tanpa pendampingan dari guru atau dosen senior. Bayangkan jika kita selaku pasien, berlapang dadakah kita bila ditangani oleh seorang dokter yang kurang  berpengalaman, atau dokter yang tidak punya tanggung jawab yang tinggi. Atau mari kita lihat dari sudut pandang yang lain, seorang dokter, bila ingin membuat keputusan untuk membedah pasien, maka dokter atau pasien mencari “ second opinion” apakah keputusan itu tepat. Pertanyaan bagi kita selaku guru atau pun dosen, apakah telah terpikirkan oleh kita untuk mendapatkan ide dari teman sejawat tentang ketepatan-ketepatan rancangan pembelajaran kita. Jangan sampai, karena kita telah mengampu mata kuliah tertentu dalam waktu yang cukup lama dan selalu hanya mengajar peserta didik yang belum paham, membawa kita merasa “kita yang terhebat” atau yang paling menguasai ilmu tersebut sehingga tidak memerlukan “second opinion”. Gambaran pendidikan di atas membuka mata kita bahwa betapa profesionalnya dosen-dosen dalam mendidik mahasiswanya untuk melahirkan lulusan-lulusan yang juga profesional di bidangnya masing-masing dan tentunnya berkarakter



Hadirin yang saya hormati
Selanjutnya bagaimana cara mentransformasikan nilai-nilai karakter bangsa. Hakikatnya mahasiswa dilatih  untuk memfungsikan secara efektif anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang dibawa sejak lahir melalui pembelajaran pembentukan karakter (latihan dan pembisaan diri) untuk melakukan akselerasi keempat fungsi yang dimaksud yaitu: (1) panca indera; (2) naluri; (3) akal: rasional, imajinasi, kreativitas; dan (4) hati nurani..
Dalam hal pengetahuan yang dicapai, pada tingkat tertinggi Al-Ghazali menyebutnya dengan akselerasi atau penanjakan ilmu (Mi’raj) pada manusia yang berpengetahuan yaitu menghambakan diri kepada-Nya. Maslow menyebutnya dengan Motive Self Transedental yang dalam tujuan Pendidikan adalah meningkatkan Iman dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai nilai karakter bangsa yang pertama dan ter-utama.
Hadirin yang saya hormati
Seluruh dosen, memiliki  peran strategis dalam menginternalisasi dan mensosialisasikan nilai-nilai karakter bangsa, sesuai standar kualifikasi akademik dan kompetensi, yaitu: (1) menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik; (2) bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia; (3) menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (4) menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa; (5) menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri;  (6) menjunjung tinggi kode etik profesi. Hal ini diperkuat lagi dalam menerapkan kurikulum sekarang yaitu kurikulum KKNI, yang harus memuat nilai-nilai karakter bangsa dalam setiap mata kuliah.
Dosen diharapkan mampu mengimplementasikan pembentukan karakter bangsa yang selaras dengan lingkungan lokal, nasional, dan internasional. Implikasinya diharapkan akan mewujudkan masyarakat madani Indonesia yang memiliki nilai-nilai esensial antara lain: (1) mempunyai respek terhadap kehidupan; (2) menghormati Hak Asasi Manusia; (3) mewujudkan kesetaraan dan keadilan; (4) saling menghormati dan toleran; (5) saling mengayomi; dan (6) integritas. Harapan ini adalah sebuah keniscayaan apabila kita ingin menyelamatkan bangsa dari krisis multidimensi. Moga-moga harapan ini menjadi kenyataan. Amien.
Hadirin yang saya hormati
Satu langkah tepat agar bangsa ini selamat dari krisis karakter kita perlu melakukan refleksi terhadap pendidikan pembentukan karakter bangsa pada mahasiswa. Alice Miller dalam bukunya The Drama of The Gifted Child, memaparkan  bahwa: (1) semua orang dilahirkan untuk tumbuh, berkembang, untuk hidup, mencintai dan untuk dapat mengungkapkan kebutuhan serta perasaan-perasaan mereka, demi perlindungan diri mereka; (2) orang memerlukan rasa hormat dan perlindungan dari orang yang lebih dewasa yang akan menanggapi mereka dengan serius, mencintai mereka, dan secara jujur membantu mereka untuk berorientasi kepada dunia. Apabila kebutuhan-kebutuhan vital itu tidak terpenuhi atau bahkan mendapatkan perlakuan sebaliknya maka integritas mereka akan rusak selamanya. Suasana lingkungan (sosial) ini akan memperkuat dalam mengembangkan potensi internal mahasiswa. Adapun potensi internal mahasiswa yang perlu dirangsang perkembangannya antara lain adalah kreativitas, konsep diri (pengendalian diri, kepercayaan diri, dan harga diri ) , bakat,minat, dan intelegensi jamak.
Hadirin yang saya hormati
Program strategis yang perlu dilakukan (Citizenship Education), adalah saling bersinergi antar berbagai komponen bangsa termasuk dosen untuk mempersiapkan generasi masa depan bangsa yang berkarakter, yakni : (1) membantu pertumbuhan jati diri bangsa, baik secara individual maupun kultural dan bersama-sama memahami kekuatan-kekuatan yang menyatukan ataupun yang memecah belah masyarakat; (2) melibatkan mahasiswa dalam observasi dan partisipasi baik di kampus maupun di masyarakat; (3) menjernihkan isu-isu kritis baik lokal maupun global; (4) mengembangkan perspektif mahasiswa berdasarkan pengalaman hidupnya yang memungkinkan untuk melihat diri sendiri dalam konteks dunia yang luas; (5) mempersiapkan mahasiswa untuk membuat keputusan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi; dan (6) mengembangkan jiwa kepemimpinan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa (Standard Course of  Study and Grade Level Competenzies K-12 Social Studies, Nort Carolina).
Sebagai penutup saya ingin mengatakan Tugas merevitalisasi pendidikan di perguruan tinggi adalah hal yang tidak mudah. Dibutuhkan kesungguhan, keikhlasan, kejujuran, kerja keras, komitmen, saling bahu membahu, berniat baik. Semoga kita sepakat, bahwa pendidikan adalah tujuan jangka panjang. Suatu proses menanam, yang mungkin kita sendiri tidak sampai waktu untuk memetik buahnya. Pendidikan bukanlah proses instant. Namun saya meyakini dengan kepemimpinan perguruan tinggi yang berkarakter dan didukung oleh semua unsur yang ada pada perguruan tinggi tersebut maka insyaAllah kita akan dapat berhasil mensukseskan program penguatan karakter bangsa. Akhir kata saya ucapkan banyak terima kasih atas perhatiannya mendengarkan orasi ilmiah yang saya bawakan dan sekali lagi saya ucapkan trims kepada ketua STAI al furqan beserta panitia pelaksana wisuda. Wabillahi….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar